dr

July 06, 2018

When everything gets hard,
I try to love you
Harder
Even it hurts me.
-rnp

thoughts

Cita-cita Kecil

October 13, 2017

Subuh ini, saya menyempatkan diri membuka facebook saya yang sudah dilapisi debu beberapa senti, saking jarangnya saya lihat. Dan, baru saja membukanya, saya sudah disuguhkan status inspiratif oleh teman panutan saya, yang sampai saat ini tidak berubah (seperti saya...) dan malah makin baik. Semoga Allah selalu melindunginya dan orang-orang baik selalu membersamainya, aamiin.
Status beliau ini tentang keikhlasan guru, yang apabila kelak anak muridnya menjadi lebih hebat darinya yang notabene 'hanya' seorang guru, dia justru bangga. Dan tentunya, bahagia.
Saya sangat setuju, dan mau tidak mau saya dan pikiran naif saya beranggapan, semua orang akan begitu. Memiliki pola pikir guru. Sayang sekali, dunia tak sebaik itu, kawan. Kalaulah semuanya se legowo guru, tak kan ada orang-orang ambisius yang ingin mencapai jabatan-jabatan tertinggi. Kalaulah semuanya berperspektif sama, setiap orang hanya ingin orang yang dididiknya berhasil, dan seperti efek domino, maka semuanya akan begitu. Tak tercipta politikus-politikus ambisius seperti yang sekarang.
Menjadi guru itu mulia. Saya sendiri ingin menjadi salah satu diantara orang-orang berhati besar tersebut. Tentu bahagia rasanya jika orang yang kita didik, kita bimbing, kita sayangi, menjadi seseorang yang dia inginkan, orang yang telah menjadi 'orang'. Pasti membahagiakan, dan menimbulkan perasaan haru tersendiri. Karena saya pernah merasakan, orang yang saya bina sudah berhasil. Dan, tidak pernah terbersit dalam pikiran saya untuk iri, kan saya yang ngajarin dia, kenapa dia lebih hebat? Harusnya saya kan yang bisa ambil kesempatan-kesempatan besar tersebut, karena saya yang bimbing dia. Tapi, nyatanya tidak. Mungkin karena itu saya tidak bisa disebut orang ambisius, dan saya dulu minder karenanya. Saya ternyata lebih suka membagi apa yang saya miliki, daripada saya harus masuk arena bertarung hanya untuk kepuasan saya. 
Intinya, dunia ini seimbang.
Kita membutuhkan orang-orang berjiwa besar, untuk menciptakan orang-orang hebat lainnya yang akan membesarkan impian si jiwa besar tersebut.
Baiklah, kita sudahi dulu. Karena subuh beberapa menit lagi.
Jangan lupa berbahagia dan membahagiakan:)

love

Cinta yang Rasional

October 08, 2017


Kalau kau bilang cinta itu buta, mungkin aku sedikit mengiyakan. Karena, orang yang (maaf) buta, biasanya punya sensitifitas yang lebih baik dibanding yang memiliki penglihatan normal. Jadi, rupanya saja yang tak tampak olehnya, tapi yang lain bisa dirasakan.
Begitu juga cinta. Meski munafik rasanya kalau ku katakan tak melihat tampang. Karena dalam salah satu riset, jatuh cinta selalui diawali oleh pandangan. Bukan masalah rupawan tidaknya, namun hal pertama yang dilihat seseoranglah yang bisa mengawali satu perasaan. Mengawali ketertarikan. Jadi, mungkin cinta tidak buta-buta amat.
Tapi bagiku, cinta haruslah rasional. Entah egoku yang terlalu tinggi, entah aku yang terlalu banyak teori. Cinta tidak ngoyo. Cinta tidak membenarkan yang salah. Cinta, harus sejalan dengan prinsip yang kupegang.
Misalkan, aku cinta pada seorang lelaki. Boleh dikatakan dia hampir sempurna, dan dia juga memiliki perasaan yang sama. Namun, secinta-cintanya aku padanya, jika kelak dia meneruskan aktivitasnya yang bagiku merusak dia dan masa depannya, setelah puluhan kali kuingatkan, aku lebih baik mundur. Aku bukan anak remaja yang ngoyo. Mesti sama dia. Kalau aku sudah coba, dan ternyata sepertinya tidak mungkin hidup seperti itu dengannya, aku pergi. Lebih baik aku sakit hati di awal, sedih, nelangsa, namun aku bangkit lagi. Daripada aku harus menelan kekecewaan seumur hidup bersama orang yang salah.
Cinta diumur segini, bagiku haruslah begitu.
Mencari orang yang mau tumbuh dewasa denganmu, mau mendengarkan dan memperbaiki dirinya. Dan untukku, aku juga harus mau memperbaiki diriku. Walau sama-sama tak sempurna, tapi ketidaksempurnaan itulah yang sama-sama membuat kami bisa belajar.
Cinta itu rasional, kok. Kamunya aja yang terlalu emosional.

thoughts

Berdamai dengan Masa Lalu

October 06, 2017

Umur saya 22 tahun. Beberapa detik yang lalu, itu sudah masuk dalam masa lalu saya. Saat ini, saya sedang menulis. Dan saya sedang menulis masa lalu saya.
Ribet nggak sih?
Itu hanya intro. Yang saya ingin bahas, ya masa lalu itu. 
Banyak orang, masih hidup dengan bayang-bayang masa lalunya. Sibuk berkelana mencari pembenaran masa lalu, atau sibuk meratapi masa lalu. Sedang sebagian lagi, berusaha mati-matian melupakan masa lalunya. Kalau pernah baca novel Hujan, mungkin teman-teman akan paham betapa seseorang berupaya melupakan masa lalu yang dianggapnya menyakitkan.
Namun, bagi sebagian orang, masa lalu patut untuk diingat dan dielaborasi. Entah itu masa lalunya, atau masa lalu orang lain (baca: sejarah hidup orang lain). 
Bagaimanapun, masa lalumu adalah bagian dari dirimu. Memisahkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari diri, adalah hal yang tidak mudah. Pribadimu yang terbentuk saat ini, lahir dari masa lalu. Jangan kamu serba menyalahkan masa lalumu. Hei, kamu yang sekarang tegas itu kan juga lahir dari didikan orangtuamu di masa lampau. Masa lalu bukan sekedar hal-hal buruk, atau luka-luka tak berdarah. Kelahiranmu, kelahiran adikmu yang kamu sayangi, itu masa lalu.
Soal masa lalu yang menyedihkan, sudahlah. Cobalah berdamai dengannya.
Lihat dirimu yang sekarang, syukuri bagaimana hidupmu saat ini.
Jangan terus hidup dengan menoleh kebelakang. Kalau nabrak, sakit lho.
Kamu tahu cerebellum? Ya, itu otak kecil. Letaknya? Dibagian belakang. Dan salah satu bagian dari otak kecil itu namanya sereberoserebellum, fungsinya menyimpan memori.
Ah, Tuhan memang maha bijak. Otak kecil, berfungsi sebagai penyimpan memori. Terletak dibelakang kepala.
Artinya?
Masa lalumu, sudah tertinggal dibelakang. Sekali-sekali, bolehlah kamu toleh. Untuk mensyukuri apa yang ada saat ini, dan tidak mengulangi kebodohan yang lalu.

Popular Posts